Mehmet Özay                                                                                                            14 Juni 2012
Solat di Ide Rayeuk

Bukan hal yang mengejutkan jika kita kembali menyaksikan masyarakat Muslim Rohingya menderita dirumahnya sendiri. Semenjak proses pembangunan bangsa dan Negara di Asia Tenggara, mayoritas komunitas muslim hidup dibawah dominasi kristen dan Buddha dimana mereka mengalami penghinaan dan paksaan agar kehilangan derajat dan identitas hingga kebebasan yang pernah dimiliki oleh leluhurnya. Sebagai orang Aceh, kita sudah menyaksikan berkali kali saudara-saudara dari Myanmar yang terdampar di Aceh melalui tangan tuhan. Bagaimana segerombolan manusia ditemukan  dalam perahu tanpa bensin dan makanan. Kali pertama adalah ketika seorang nelayan Aceh melihat dan menuntun mereka untuk mendapatkan perlindungan di pelabuhan Sabang menjelang tahun 2009. Saya secara langsung telah bertatap muka tak hanya dirumah sakit tapi juga di kamp penampungan untuk mengumpulkan informasi primer dari mereka. Yang kedua kalinya adalah di Idie Rayeuk pada tahun 2009. Dalam observasi dan interview dengan beberapa kalangan baik dari masyarakat umum dan pegawai negeri, saya mendapatkan bahwa rakyat Aceh sudi memberikan perlindungan dan bantuan kemanusiaan kepada mereka yang menderita.

Apa yang ingin saya angkat dalam artikel ini adalah pendekataan rakyat Aceh tersebut patut dijadikan model oleh komunitas muslim yang lainnya. Mereka memiliki empati yang kuat terhadap muslim Rohingya tersebut yang telah mengalami penyiksaan baik oleh pemerintah Myanmar ataupun Thailand, yang kehilangan sanak keluarga baik di kampong halaman ataupun saat masa pengungsian dilautan yang tidak memiliki kesemptan untuk melihat Aceh. Namun disisi lain, kita tidak mendengar sedikitpun pernyataan berarti dari intitusi internasional Islamterbesar yang  cabangnya berada tepat di jantung provinsi Aceh  terkait penanganan terhadap pengungsi pengungsi muslim tertindas itu. Lebih buruk lagi, kepala institusi tersebut baru mendengar khabar tentang muslim rohingya sebulan setelah mereka mendarat di Aceh. Lalu Bagaimana kita bisa berharap banyak dari institusi seperti ini untuk memberikan bantuan atau setidaknya mengunjungi para pengungsi Myanmar di tempat penampungan mereka.
Kemandirian masyarakat Aceh sendiri dalam membantu pengungsi tersebut layak mendapat lebih banyak sorotan. Irwandi Yusuf yang menjabat sebagai gubernur saat itu mendatangi kamp pengungsi berdasarkan inisiatifnya sendiri. Bahkan ia menawarkan agar mereka diizinkan menetap di Aceh sepanjang yang mereka inginkan. Tetapi dikarenakan kasus ini sangat bersifat internasional gagasan Irwandi tidak dipertimbangkan. Pada dasarnya, Jakarta melihat Myanmar sebagai anggota ASEAN sehingga baik secara langsung maupun tidak, pengungsi tersebut “diajak” pulang menimbang hubungan politik dengan Myanmar. Walaupun begitu, dalam kondisi seperti ini kita bisa langsung menilai adanya perselisihan keinginan organisasi Islam dan Negara Negara ASEAN. Tapi ini adalah masalah yang berbeda yang tidak masuk dalam bahasan artikel ini.
Meskipun pemerintah pusat “berhak” mempertimbangkan hubungan politik dengan Myanmar, disisi lain komunitas muslim rohingya ternyata memiliki garis sejarah yang penting. Mereka dikenal sebagai kaum Arakan sejak keberhasilannya membangun kesultanan di wilayah yang terbentang antara Myanmar dan Bangladesh. Anehnya, mereka tidak diterima sebagai etnis legal selama pemerintahan modern Myanmar kecuali mengakui status mereka sebagai kelompok sosial asing (foreign social group). Selain itu,  masyarakat Buddha Myanmar menganggap mereka hanya sebagai pengungsi illegal (new straits times, 13 Juni 2012: 30). Lebih buruk lagi, sejauh ini kita belum melihat aksi konkrit apapun dari organisasi international Islam. Dan sangat disayangkan lagi, dalam aspek tertentu, masyarakat Benggali yang memiliki kesamaan talias ras dengan Arakan tidak juga menampakkan sikap emphaty ataupun simpati. Sebagai tambahan, disebabkan insiden yang akhir akhir ini terjadi, sekitar 1500 orang, termasuk lelaki, perempuan dan anak anak mengungsi lagi dengan perahu tetapi sayangnya, mereka semuanya dipulangkan dari batas Bengali secara tidak berprikemanusiaan. Lupakan saja tentang keterlibatan sosial organisasi internasional Islam yang memiliki wadah hukum yang cukup untuk menangani konflik etnis seperti ini. Pemerintahan Bengali tampaknya tidak memiliki artikel konsitusi yang layak yang berada dalam basis konvensi PBB.
Sebagaimana kita dikejutkan, Sejak tanggal 8 Juni yang lalu Muslim Rohingya atau Arakan di Myanmar telah mengalami serangan, penyiksaan, pembunuhan yang dilakukan oleh mayoritas umat Buddha. Harta benda mereka dirusak termasuk 1,662 rumah dan masjid. Walaupun ada banyak lagi kasus kasus yang telah terjadi, saya tidak akan membahasnya dalam artikel ini. Tetapi faktanya adalah muslim Myanmar lagi-lagi mengalami diskriminasi. Meskipun PBB mencoba  untuk melakukan sesuatu, hasilnya masih jauh dari harapan.  Dan jika Anda menanyakan tentang bantuan Organisasi Internasional Islam, saya tidak bisa memberikan jawaban seperti yang Anda inginkan.
Oleh karena itu, saya hendak mengingatkan sensitivitas Irwandi Yusuf dan masyarakat Aceh beberapa tahun yang lalu merupakan expresi kemanusiaan yang paling mahal dan kenyataan ini memperkuat karakteristik orang Aceh yang sejak dahulu dikenal terbuka terhadap orang asing.  Maka saya pikir adalah hal yang masuk akal jika saya menawarkan masyarakat muslim lainnya agar belajar lebih banyak dari Aceh, bukan meluludari Timur Tengah.

http://www.acehindependent.com/blog/muslim-rohingya-dan-fungsi-aceh/

LEAVE A REPLY