Mehmet Özay                                                                                                            23.02.2024

Musim gugur tahun 1948 menyaksikan perkembangan penting mengenai beberapa masalah geopolitik di Barat atau khususnya Eropa dan di seluruh dunia pada umumnya. Negara-negara terkemuka dalam lingkungan politik global pascaperang atau negara-negara pemenang Perang Dunia Kedua sedang belajar tentang munculnya era baru yang samar-samar untuk membangun kembali perdamaian global.

Proses ini tidak jauh dari persaingan politik antar negara-negara terkemuka. Dalam hal ini, Amerika Serikat dan Uni Soviet atau Republik Sosialis Soviet Bersatu (USSR) sepakat untuk meningkatkan posisi mereka terlebih dahulu di skala Eropa dan kemudian di skala global. Pada tahun-tahun ini, mereka menyaksikan secara kontradiktif tahap-tahap awal Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet secara bersamaan.

Kedua negara berada dalam posisi untuk mencapai kekuasaan lebih dari yang lain. Arahan kedua pemenang – yaitu AS dan Uni Soviet – dari Perang Dunia Kedua hingga Perang Dingin berarti memperburuk cita-cita untuk menciptakan tatanan dunia yang damai, yang sangat dibutuhkan oleh semua negara. Dengan kata lain, tepat setelah perang yang paling dahsyat menyebabkan gejolak global, pendekatan politik negara-negara terkemuka mulai terhuyung-huyung dalam menghadapi permasalahan yang beragam dan sangat besar.

Dalam proses ini, konteks utama dibingkai pada isu Berlin, sebuah titik panas perpecahan ideologis di dunia politik Barat, yang selalu menjadi pokok bahasan di PBB. Ada dua fenomena yang terjadi di sini: isu Berlin dan uji kredibilitas PBB yang didirikan pada 24 Oktober 1945, yakni hanya beberapa bulan setelah Jepang menyerah. Persoalan Berlin mencerminkan terbaginya wilayah Jerman antara Barat dan Timur. Berlin, ibu kota Jerman Barat, secara geografis terletak di bagian dalam Jerman Timur, dan sulit melindungi kedaulatannya dari potensi invasi ke Uni Soviet. Singkatnya, isu Berlin terjadi ketika Uni Soviet melarang akses darat antara Jerman Barat dan Berlin Barat.

Melalui kebijakan aksinya, Rusia mengerahkan kekuatan ‘politik’nya melawan lingkaran kekuasaan Barat, dan tidak ada keraguan bahwa isu Berlin berada di garis depan konflik antara Rusia dan Amerika Serikat. Hal yang lebih buruk dari situasi konflik yang muncul secara signifikan ini adalah ketidakmampuan PBB untuk mengatasi pertanyaan ideologis Eropa ini. Hal ini dan beberapa isu internasional lainnya yang menjadi pembahasan penting di PBB menarik minat Haji Muhammad Said (HMS), kolumnis terkemuka Waspada.

Mungkin patut dipertanyakan mengapa HMS mengikuti isu-isu ini, yang tampaknya menjadi perhatian utama negara-negara Barat! Mungkin ada yang berpendapat bahwa ia bukan hanya seorang jurnalis yang menyiarkan peristiwa-peristiwa global yang terjadi di suatu tempat di belahan dunia lain, yang disiarkan oleh kantor-kantor berita internasional. Selain itu, ia memiliki kualitas intelektual yang cukup. Ia tidak hanya secara implisit menindaklanjuti diskusi-diskusi politik di Barat, namun ia juga menafsirkannya melalui pendirian politik-filosofisnya. Pendiriannya tak lepas dari situasi politik Indonesia yang belum mendapatkan pengakuan politik di mata internasional. Sebagaimana diketahui, perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya melawan kekuasaan kolonial, yakni Belanda, namun juga negara yang mendukung kolonialisme secara politik, militer, dan mungkin secara moral. Ada yang berpendapat bahwa HMS menelusuri kebijakan-kebijakan Barat sepanjang sesi yang diadakan di PBB.

HMS nampaknya sudah cukup sadar bahwa PBB, sebagai lembaga payung internasional, dapat menyelesaikan beberapa permasalahan penting regional dan global hanya beberapa tahun setelah Perang Dunia II. Sebagaimana dinyatakannya dalam artikelnya yang berjudul “Suasana Sedjagat Minggu Ini” pada tanggal 27 November 1948 di Waspada, permasalahan-permasalahan ini pada dasarnya merupakan permasalahan bersama dan sekaligus dapat diselesaikan oleh komunitas internasional.

Dengan kata lain, permasalahan-permasalahan tersebut merupakan respons terhadap kepentingan bersama komunitas global. Hal ini memberikan gambaran mengenai kekuatan-kekuatan terkemuka di era pascaperang, yang berada dalam posisi untuk tidak menciptakan tatanan dunia yang damai. Malah masing-masing fokus pada agenda politiknya yang jauh dari membangun tatanan global yang menguntungkan masing-masing negara. Seperti yang diungkapkan HMS, negara-negara besar yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet hanya lebih memilih kebijakan terbaik bagi kekuasaannya.

Kebijakan salah serupa akan mengulangi kondisi sebelum perang yang diciptakan oleh negara-negara besar di Barat. HMS menilai seluruh perkembangan tersebut, baik yang terjadi dalam konteks Eropa maupun yang lebih bersifat global, seperti isu Palestina, melalui perspektif kebenaran dan keadilan. Kedua konsep ini cukup berharga untuk diucapkan dalam jurnalisme. Dan HMS, sejak awal jurnal jurnalismenya, bertekad untuk memproduksi dan menyebarkan kebenaran serta meningkatkan keadilan di masyarakat.

Tidak diragukan lagi, salah satu isu krusial lainnya di era pascaperang adalah isu Palestina. Di sisi lain, Palestina tidak bisa dibandingkan dengan negara lain yang bisa diselesaikan oleh PBB. Sebagaimana dicermati dengan jelas oleh HMS, “Soal Palestian sudah seperti tidak jadi soal antara Arab dengan Jahudi lagi”. Sebaliknya, hal ini menjadi perhatian global karena pentingnya Yerusalem, yang dianggap sebagai tanah suci umat Islam. Dalam konteks ini, memperoleh kedaulatan politik di tanah air rakyat Palestina sudah melampaui haknya. Tekanan politik dan militer kaum Yahudi menyebabkan berakhirnya berdirinya Israel pada tanggal 14 Mei 1948, sebagai negara bangsa baru di tanah Palestina.

Dapat dipahami bahwa -setidaknya salah satu alasannya- adalah karena pihak-pihak yang terkait dengan isu Palestina tidak cukup tegas secara politik. Misalnya, Inggris sepenuhnya mendukung sikap politik negara-negara Arab, namun kemudian mengubah pendiriannya dan mengambil sikap yang dapat digambarkan sebagai sikap ragu-ragu. Untuk memahami perubahan posisi Inggris, kita harus meninjau kembali tahap awal Perang Dunia Pertama.

Sebab pada masa itu, bahkan sebelum perang, Inggris terus berkomunikasi dengan perwakilan elite bangsa Arap. Misalnya, Sharif Hussein, kepala keluarga Sharif, yang secara historis dikenal sebagai pelindung wilayah Hijaz. Sayangnya, HMS tidak mengingatkan pembacanya tentang tahap awal hubungan Inggris dan Arab. Namun, dapat dipahami bahwa perpecahan negara-negara Arap menjadi alasan utama mengapa Inggris pernah menganjurkan pendirian politik Arap terhadap kepentingan Yahudi di Timur Tengah.

Pada tahap ini, patut dipertanyakan motif apa yang mendorong para pemimpin dan kebijakan Arab untuk memecah belah dan secara signifikan kehilangan tanah Palestina ke tangan orang-orang Yahudi. Yang diamati adalah para pemimpin Arab tidak mempunyai wawasan untuk menghilangkan ancaman Israel pasca runtuhnya Daulah Utsmaniyah.

​Meskipun gencatan senjata antara Yahudi dan Arab berhasil dilaksanakan, sebagaimana dinyatakan oleh Mohammad Said, kegagalan negara-negara Arab untuk mencapai pemahaman yang dapat dipercaya di antara mereka membuat Inggris harus memainkan isu-isu ini demi kepentingan mereka.

Karena itu, meskipun Mohammad Said merujuk pada sesi-sesi yang diadakan di Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam kolomnya, dia secara implisit mengkritik otoritas dan kekuatan penyelesaian masalah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tindak lanjutnya dalam politik global bertujuan untuk mengajarkan masyarakatnya literasi politik dan mempersiapkan mereka menghadapi kasus Indonesia yang akan diambil alih oleh kalangan global yang sama di tahun-tahun mendatang.

Waspada, Opini, Jumat, 23 Februari 2024, hal. B3.

LEAVE A REPLY