Jika kita amati, kapanpun ketika sejarah Aceh mewarnai percakapan-percakapan di warung kopi dengan teman-teman, reaksi yang kita lihat dari orang Aceh adalah sikap yang defensif, terumana dalah mempertahankan argumen bahwa Aceh dulunya adalah bangsa yang sukses. Meskipun dalam satu sisi kenyataan bahwa sejarah Aceh adalah persoalan yang sangat penting dan diminati oleh banyak peneliti dan ahli-ahli internasional adalah hal yang tak perlu diragukan.
Aspek yang diminati oleh peneliti dan ahli-ahli tersebut adalah meyangkut persepsi sejarah Aceh dengan kolonialisme, dan dampaknya terhadap Aceh. Jika dikaji kembali, ini merupakan ruang lingkup yang sangat berkurangan yang belum secara extensive dipelajari dan diteliti oleh ahli-ahli dari pihak lokal sendiri. Dan kekurangan tersebut, saya pikir, didominasi oleh kealpaan perspektif sosiologi (ilmu masyarakat) dalam menilai kekuatan-kekuatan penjajahan.
Hal yang wajar ditanyakan apakah orang Aceh telah memahami ideologi bangsa-bangsa penjajah. Pada titik ini, dengan jelas saya ingin menonjolkan bahwa para intelektual dan tokoh-tokoh Aceh- baik sekuler maupun tradisional belum menyentuh isu tersebut. Misanya, Portugis dan secara prinsip, Belanda. Namun ada potensi besar untuk penelitian tentang mengapa negara-negara Barat ‘mengunjungi’ teritori Aceh dalam beberapa periode secara terus menerus. Ini mungkin bukan tugas yang mudah. Pertama-tama, tugas ini membutuhkan analisa terhadapa fase perkembangan modernitas dalam negara-negara Barat yang melingkupi periode sebelum ditemukannya dan selama masa modern.
Pada hakikatnya, kekuatan periode awal kolonialisme dan periode akhir imperialisme menerjang Aceh dalam bidang politik dan budaya. Dikarenakan hal ini, konteks Aceh dalam setiap aspek sosial masih dipermasalahkan. Dan sangat disayangkan bahwa orang Aceh masih sedang mencoba untuk memahami dengan kacamata orang luar, maksud peneliti-peneliti non Aceh, kolonialis dan imperialis. Ketika orang Aceh mulai meneliti bagaimana memahami esensi para kolonialis dan imperialis, maka kita bisa berbicara tentang kemungkinan untuk memahami Aceh itu sendiri.
Pada pembahasan ini, yang perlu diingat bahkan dalam satu kalimatpun, bahwa pihak-pihak luar yag tersebut diatas perlu dipertimbangkan tidak sebagai pendatang-pendatang dengan meriam-meriamnya, perdagangan dan misionaris tapi lebih dari ini, bahwa mereka juga perwakilan dari sebuah dunia dengan kelas ideologi kapitalisme baik sebagai bapak pencipta ataupun sebagai partisipan penuh. Inilah keadaan stagnan dalam ruang lingkup akademia. Untuk lebih memahami apa yang saya maksudnya, biarlah saya beri satu contoh. Hal yang mencerahkan jika kita bertanya mengapa kelompok komunis atau orang-orang yang diklaim sebagai pengikut komunis dihantui tidak hanya oleh aparat-aparat keamanan negara tapi juga oleh komunitas Muslim yang seringnya dimobilisasikan oleh pihak pertama untuk menghancurkan kelompok-kelompok tersebut di Indonesia atau ditempat lain di berbagai kawasan pada era pertengahan abad ke-20. Pertanyaanya disini adalah, mengapa kalangan Muslim tidak berusaha mengkritik aparat-aparat yang berideologikapitalist. Tapi sebaliknya ideologi ini telah menemukan tempatnya diantara masyarakat Muslim. Yah, pada akhirnya, kedua ideologi ini adalah produk modernisasi Barat yang telah dimulai pada akhir abad ke 15 dan 16. Dan seharusnya kita melihat bahwa ada sesuatu yang salah dengan pendekatan yang diberikan Muslim.
Saya ingat tulisan Muhammad Nur Djuli yang terkini yang terbit beberapa saat yang lalu setelah konferensi internasional yang diatur untuk peringatan proses damai Aceh yang dimuat oleh The Jakarta Post (24 Agustus 2015). Pak Nur Djuli menggambarkan masyrakat Aceh dengan memberikan beberapa contoh yang menunjukkan perjalanan transformasi Aceh dalam 10 tahun belakangan. Tapi kemungkinan besar, tidak banyak pembaca-pembaca yang memperhatikan, tapi bagi saya hal yang paling penting dalam poin-poin tersebut adalah ‘mall-mall baru yang penuh sesak’ yang baru baru ini dibangun untuk ‘mengenyangkan’ pelanggan-pelanggan Aceh yang ‘kelaparan’ dengan cita rasa global. Lagi-lagi secara kontrast orang-orang mungkin bertanya “apa yang salah dengan berbelanja di mall?”. Itu adalah poin baru yang perlu dilakukan untuk sebuah kajian dan bahan- bahan diskusi umum.
Mari kita kembali ke isu utama mengenai sejarah. Almarhum Ali Hasjmy yang tanpa diragukan diakui oleh keseluruhan masyrakat Aceh, merujuk dengan bangga pada ‘sebuah kalimat’ dari Wilfred Cantwell Smith, penulis Islam dalam sejarah Modern (Islam in Modern History). Smith menulis“…Muslim-muslim pada masa ini ( Abad ke-16) merupakan partisipan dalam sejarah perluasan dan penuh dengan kesuksesan.” (1957: 38). Ia melanjutkan dalam paragraph kedua dengan memberikan informasi pasti tentang 5 nama georgrafi Islam terkemuka, termasuk Aceh. Ya, Anda mungkin tidak akan menemukan ekxpresi yang sama dalam tulisan ahli-ahli sejarah yang lain namun ada rekaman yang tidak menampik hal itu. Tentunya menyenangkan dan begitu memuaskan emosi yang membuat kita mengulang-ulang terus pernyataan ini dalam percakapan-percakapan dimana saja. Akan tetapi, pembincangan seperti ini hanya menghabiskan waktu sia sia secara disengaja ataupun tidak, jika kita memikirkan bagian utama lain dari sejarah Aceh dalam artian diskusi seputar ‘sejarah Portugis, Belanda, dan mungkin Inggris yang memiliki cukup petualangan dengan Aceh dan orang Aceh secara khusus atau orang Melayu secara umumnya.
Namun kita tidak dapat membaca lebih banyak dalam tulisan Ali Hasjmy tentang hal-hal yang sangat kritis diucapkan oleh Wilfred dalam halaman yang sama. Wilfred mengatakan “ fakta yang lebih jauh adalah kesuksesan ini tidak bertahan lama… berhidup pendek..dan menjelang abad ke-18 merosot dengan serius”. Apa yang ingin ditekankan Wilfred terlihat dalam kutipan berikut:”upaya-upaya intelektual terhenti. Sebuah dekade melelahkan yang menginfeksi seni. Vitalitas agama surut.”
Ya, tidak diragukan realita memang perlu diketahui dan direnungkan. Tapi itu tidak cukup. Sebaliknya perlu ada upaya untuk memahami alasan-alasan yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal dalam abad-abad tersebut sebelumnya dalam sejarah Aceh akan mejadi hal yang lebih efektif. Dalam hal ini, secara umum, proses modernisasi yang diamati sejak abakd ke 15 dan 16 di Eropa Barat adalah titik yang cukup problematik.
Saya katakan dengan sesungguhnya, Saya tidak berharap banyak dari Melayu ‘lainnya’ tapi setidaknya saya ingin berharap bahwa beberapa dari orang Aceh dapat menemukan jalan untuk mencoba memahami isu yang saya sorot diatas.
Jika proses modernisasi ini lahir dari suatu tempat didunia dan pengaruhnya menyebar dengan begitu kuat maka itu layak untuk dikaji. Proyek modernisasi adalah produk Eropa Barat. Dan sekarang meskipun Amerika tampaknya paling unggul, ia berhutang pada fundamentalisme, filosofi, dan praktek-praktek inisial dari negara-negara Eropa seperti Prancis, Jerman, Inggris, Portugis, dan Belanda.
Intisarinya, saya ingin mengatakan bahwa memahami kebalikannya, katakanlah disini, fundamental ideologi penjajah Belanda dalam skala lebih besar akan menuntun kita pada pandangan baru dalam sejarah Aceh.
[1]Khazanah Pesantren, Badan Pembinaan dan Pendidikan Dayah, Edisi 2, Tahun 2015, Banda Aceh, hlm. 60-1.