Mehmet Ozay 18.09.2012
Persoalan Rohingya masih hangat dibincangkan secara global. Hari ini, tepatnya pada tanggal 17 September 2012, sebuah konferensi internasional telah diselenggarakan oleh “Perdana Global Peace Foundation” (PGPF), sebuah organisasi yang menyuarakan hak-hak sipil berbasis di Malaysia. Acara tersebut merupaka acara yang signifikan karena isu Rohingya didiskusikan oleh pihak internasional. Antara pemimpin-pemimpin organisasi Rohingya, Nurul Islam, Muhammad Yunus, Waqaruddin, Abdul Hamid bin Musa merupakan salah satu kalangan yang hadir. Mereka diiringi oleh beberapa kademisi, perwakilan NGO dari Inggris, Bangladesh, Thailand, Indonesia, Filipina, dan tentu saja Malaysia, dan Perwakilan “Human Right Watch” (HRW) and “Amnesti Internasional” (AI). Semua partisipan ini berkontribusi berdasarkan kapasitasnya masing masing. Disamping itu, ada ratusan hadirin yang juga berkontribusi melalui pertanyaan-pertanyaan dan secara aktif mengikuti acara tersebut hingga pukul enam sore. Konferens ini diadakan di Islamic Art Center, berdekatan dengan Mesjid Negara.
Ini merupakan acara signifikan dikarenakan Malaysia sebagai anggota Negara-negara ASEAN yang memiliki investasi langsung di Myanmar. Dengan inisiatif seperti ini, Malaysia memiliki pengaruh terhadap pemerintah Myanmar untuk merubah ketentuan terhadap Muslim Rohingya. Tentu saja sebagai pendiri Institusi, Dr. Mahathir Muhammad, dapat memainkan peran kepemimpinan dalam inisiatif Malaysia dan ASEAN. Merupakan hal yang sangat berarti jika ASEAN dapat berinisiatif untuk memecahkan isu Rohingya karena permasalahan ini telah mendampaki keseluruhan wilayah dalam beberapa atau lebih banyak aspek. Ini juga merupakan hal yang sangat masuk akal dan berlogika jika pelaku-pelaku politik kewilayahan dapat terlibat dalam konflik resolusi. Poin penting lainnya dari acara yang diselenggrakan di kuala Lumpur ini adalah, Malaysia memiliki kesamaan dengan Myanmar terkait dengan proses kolonialisasi. Bahkan persamaannya dapat ditemukan dalam Perang Dunia ke-2, proses kemerdekaan dan hubungan inter-ethnik di masing masing Negara. Sebagai seorang pembicara kunci, Dr. Mahathri Muhammad menekankan pada cerita cerita kesuksesan Malaysia terkait dengan hubungan etnik walaupun ada banyak kesulitan. Meskipun begitu, Myanmar telah gagal untuk merealisasikan hubungan etnik yang harmonis dalam masa separuh abad.
Bagaimana menemukan solusi untuk isu Rohingya adalah masih dalam proses mengingat Isu Rohingya baru menarik perhatian media internasional sejak bulan Juni yang lalu. Sejak saat itu, Pada satu sisi, meskipun ada beberapa demosntrasi dan kampanye relief di Negara-negara muslim, dan penyelenggraan konferensi internasional oleh berbagai Negara disisi lain, penanganan terhadap isu Rohingya akan menjadi sesuatu yang terlalu optimistik Meskipun begitu, kita tidak bisa mengatakan bahwa aktifitas aktifitas yang sudah dijalankan tidak memberi harapan bagi kita. Salah satu kesulitan dalam menemukan pemecahan terhadap isu Rohingya adalah perkembangan inisiatif yang telah tersebut diatas dan kunjungan-kunjungan yang dilakukan kepada Pemerintah Myanmar seperti Jusuf Kalla, Prof. Dr. Ahmet Davutoglu, dilaksanakan secara terpisah dan tunggal. Semua inisiatif ini seharusnya lebih sinkron atau terkoordinasi antara satu dengan yang lain. Alasannya, Regim militer Myanmar sangat professional dengan apa yang mereka lakukan oleh karena itu, inisiatif inisiatif tunggal tersebut tidak bisa mengikuti metode politik regim.
Meskipun dalam beberapa tahun terakhir, Myanmar telah memulai proses reformasi demokrasi, para parlemen tidak distrukturkan berdasarkan demokrasi barat dan Perdana Menteri Thein Sein adalah perdana menteri yang ditunjuk oleh regim tentara dan keputusan ini tidak datang dari kalangan thein sein sendiri melainkan dari balik layar yang dilakukan oleh militer. Semua ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan keengganan dan perhatian dalam komunitas internasional. Ketika isu Rohingya dikonsumsikan oleh media internasional, setiap waktu ketika suara-suara media tersebut memudar, muslim Rohingya akan mengalami lagi penindasan dalam tangan polisi dan militer Myanmar. Kewajiban kebanyakan partisipan yang datang dari Negara-negara ASEAN adalah mencendrungkan semangat ASEAN sebagai cara memecahkan persolan Rohingya. Beberapa partisipan menyebutkan isu ini dengan kritis. Dapat dipahami mengapa kecendrungan tersebut muncul karena Negara-negara ASEAN telah mengalami proses serupa dalam konteks kewilayahannya masing-masing. Alasan mengedepankan semangat ASEAN yang lain sebagaimana dipantau dalam proses acaranya, adalah menimbang hasil sepak terjang yang telah dilakukan oleh beberapa organisasi Islam internasional yang tampil dengan ketidak-stabilan dan cara mereka menghadle isu Rohingya menyebabkan ketidak-lestarian solusi dalam menghadapi pemerintah Myanmar. Beberapa pemateri yang lain juga menonjolkan kondisi kehidupan dan hak hak pengungsi Rohingya dalam beberapa Negara-negara muslim disamping pendekatan pemerintahan Myanmar terhadap isu Rohingya. Pengungsi tersebut meskipun berada dalam Negara-negara muslim, mereka bekerja dengan gaji sedikit dan tidak memiliki akses pendidikan.
Poin umum yang diteriakkan oleh seluruh pemateri terkait kapasitas masing-masing adalah bagaimana memecahkan isu Rohingya. Secara pendekatan umum, ada argumentasi untuk merivisi hukum kewarganegaraan tahun 1982 yang dibuat oleh regime militer yang memiliki ayat-ayat berdasarkan standar internasional dan perlakuan mereka terhadap Rohingya diterima sebagai pelaggaran hak azasi manusia. Apa yang dimaksud dengan merubah hukum kewarganegaraan ini adalah dengan memberikan hak yang sama kepada orang Rohinya sebagaimana yang mereka berikan kepada etnik lain berdasarkan tata nilai masyarakat modern. Tidak dapat diragui bahwa hak kewarganegaraan memiliki peran kritis terhadap isu Rohingya. Meskipun begitu, akan menjadi tidak terarah jika kita berpikir saat hak tersebut terpenuhi semua permasalahan Rohingya akan selesai. Sebagai penggatinya, perwujudan hak hak kewarganegaraan tersebut akan membuka pintu bagi langkah langkah konkrit dan permanen penyelesaian terhadap kesulitan kesulitan mereka yang lain.
Pada dasarnya, semua dokumen dan argumentasi yang diberikan oleh para pemateri membuktikan bahwa pemerintahan Myanmar dan Masyarakat Buddha Burma tidak memiliki argument signifikan untuk mendiskriminasikan masyarakat Rohinga baik dalam tema sejarah maupun era modern. Pada masa ini saya ingin menyebutkan ada seorang akademisi Burma yang mendukung Rohingya Musllim sejak lama. Namanya Dr. Maung Zarni yang juga berasal dari generasi 1988, generasi reformasi sosial dan demonstrasi. Dia berpendapat bahwa untuk menyelesikan persoalan Rohingya, setiap pihak harus mengerti mind-set atau cara berpikir elit militer Myanmar. Dia juga menambahkan alasan persoalan Rohingya adalah bukan masyarakat Rohingya sendiri tetapi ideologi ultra Burma nasionalisme yang menjajah wilayah Rohingya secara materi dan non-materi. Pada prakteknya, Regim militer telah memnfungsikan Orang-orang Budha Rakhine yang tinggal di wilayah Rohingya kapanpun mereka butuhkan. Ini semacam strategi devide and rule yang dipraktekkan oleh imperialist pada masa lampau.
Pada akhir konferensi, telah disetujui sebanyak 28 butir solusi yang harus dilakukan untuk Muslim Rohingya. Ini saatnya untuk mematerialisasikan setiap butir resolusi satu persatu malalui kontribusi Negara Negara terkait, NGOs dan institusi-instusi internasional.