Buku ini tidak mengulas tentang isu-isu politik, juga tidak mengangkat fakta-fakta mengenai gempa dan tsunami yang muncul tiba-tiba dan menyapu habis segala yang ada di sepanjang pesisir wilayah Aceh pada tanggal 26 Desember 2004. Buku ini juga bukan sebuah kisah nostalgia yang mengagung-agungkan perjalanan Aceh dan Turki utsmani masa lalu melainkan upaya untuk meninjau kembali narasi sejarah dan ingatan lokal masyarakat Aceh, sekaligus menonjolkan aspek-aspek utama dari hubungan antara kedua negeri ini demi menghidupkan lagi talian talian politik, ekonomi, dan sosial antar keduanya untuk masa yang akan datang.

Dalam buku ini saya memuat catatan pribadi berdasarkan pembincangan-perbincangan dengan kalangan masyarakat Aceh yang terkait. Dari interaksi ini saya menemukan refleksi sejarah “berdasarkan sudut pandang yang paling ganjil dan barangkali tidak lazim” seperti yang pernah dikemukakan oleh William R. Roff. Selain itu, berbagai sumber termasuk beberapa hikayat, dokumen arsip dan karya ilmiah kontemporer dalam bahasa Turki, Inggris dan Indonesia yang saya baca juga telah memberikan banyak andil dalam penulisan buku ini. Demikianpun, saya tidak mengatakan bahwa apa yang tertulis disini merupakan sejarah lengkap mengenai hubungan antara Aceh dan Turki. Sebaliknya, ini akan mengingatkan kita untuk memperhatikan kembali beberapa aspek dari hubungan ini khususnya dalam ruang lingkup politik Aceh yang konstruktif…

This book does not deal with political issues, neither the facts of the earthquake and tsunami emerged unexpectedly on 26th December 2004. Nor should it be considered as a nostalgy for adoring the old great days regarding the relationship between the Acehnese and the Ottomans. Instead, this book is an attempt, to some extent, to revisit what have happened in the far and recent past and to remind the relations between two nations, particularly to the young generations. For that purpose, it comprise my personal encounters with relevant circles in Aceh society and readings in various sources including partly Hikayats, archival documents and contemporary works in Turkish, English and Bahasa Indonesia. Hence it is not to imply that this book is a complete history of relations between the Acehnese and the Ottomans. With regard to this, it is not wrong if I urge that the tsunami brought about ancient relations between the Acehnese and the Ottomans to be remembered. At the same time, it is also right to ask whether any significant attention given these ancient and relatively recent relations in order to be fundamentals for the future ones. No doubt, it is also true that the modern period is mostly regarded as the lost decades for both nations. And during these lost decades both nations were busier mostly for their own political fray and no doubt many things have already changed a lot. But it is true at the same time that the tsunami opened a potential channel as a contra-impact on reinstatement of the lost relations.

LEAVE A REPLY