Mehmet Özay 24 Oktober 2012
Isu muslim Rohingya masih berada dalam pertimbangan ruang lingkup geografi dan intelektual yang lebih luas. Minggu yang lalu, pada tanggal 14 Oktober, sebuah konferensi internasional tentang nasib Rohingya di Istanbul yang diselenggarakan oleh Asosiasi Hak Asasi Manusia dan Solidaritas bagi yang tertindas (MAZLUMDER).[1] Konferensi ini dibawakan oleh figur-figur penting internasional dan utusan spesial PBB; Nurul Islam, pimpinan Diaspora Arakan Internasional basis London; Prof. Dr. Imtiaz Ahmed, Hubungan Internasional dari Universitas Dhaka Bangladesh; Matthew Smith, Human Right Watch basis Bangkok; Benjamin Zawacki, mantan direktur Amnesti Internasional batasan Asia. Tak terkecuali beberapa profesor dan perwakilan NGO Turki. Bagaimanapun, kita tidak berhasil meyakinkan Chris Lewa, pimpinan Proyek Arakan yang telah bergelut dengan nasib muslim Rohingya selama 13 tahun. Saya percaya kehadirannya akan memberikan kontribusi yang berat terhadap pemahaman kondisi Rohingya sesungguhnya. Salah satu kunci penting konferensi Istanbul adalah Emine Erdogan, istri perdana menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan, ikut mengambil bagian sebagai tamu pembicara. Dikarenakan kontributor yang terakhir ini, media nasional memberikan perhatian lebih dan beberapa chanel Tv menyiarkan secara langsung. Merupakan pengalaman berharga untuk berada disana, khususnya setelah mengikuti konferensi serupa yang dilaksanakan oleh Perdana Global Peace Foundation di Kuala Lumpur pertengahan September lalu. Dalam konferensi di Istanbul kali ini, Saya hadir sebagai presenter dengan kertas “Isu Minoritas Rohingya di Myanmar: Menuju Solusi”.
Biarlah saya terangkan secara padat dan ringkas konsentrasi konferensi tersebut. Pada bagian-bagian awal, ada semacam stagnansi dan ‘berbahaya’ ketika pembicaraan yang berlangsung hanya berkutat pada pengulangan-pengulangan dan poros-poros ide yang sama yang diangkat oleh berbagai akademisi, peneliti-peneliti, aktivis-aktivis kemanusiaan, dan yang lainnya. Kondisi ini menjadi kecacatan tersendiri baik bagi presenter maupun organisator. Jika argumen-argumen tersebut dimasukkan dalam pertimbangan maka akan menyebabkan timbulnya persepsi dan keraguan apakah inisiatif-inisiatif tersebut dapat terencana dengan baik dan terlaksana dengan seimbang ataupun tidak.
Disisi lain, tidak dapat diragukan bahwa inisiatif-inisiatif yang dipaparkan sudah terstruktur dengan baik jika dilihat dari segi keilmiahan dan akademik. Namun serius saja, isu Rohingya tidak bisa berhenti disana. Sebagaimana yang sering terlihat dari suara-suara terhadap isu Rohingya selama ini, perkembangan-perkembangan yang terjadi dapat dengan mudah dimanipulasi oleh institusi media nasional dan internasional. Menulis berita pendek, atau menyiarkan berita dari lapangan Rohingya dalam satu dua menit dapat menyebabkan salah kaprah antara masyarakat tanpa ada pengetahuan dan informasi konsisten yang membiarkan setiap orang mampu mengerti inti permasalahan dan membentuk pemecahan-pemecahan. Sebagaimana yang sering saya pertimbangkan dan ingatkan bahwa isu-isu Rohingya perlu diperhitungkan oleh para akademisi dan peneliti dan tidak bisa langsung ditinggalkan dengan inisiatif yang hanya didasari oleh pemahaman-pemahaman sederhana. Dalam pengamatan saya dalam beberapa bulan terakhir, meskipun ada angka penambahan kajian-kajian akademik yang dilakukan oleh institusi terkait dan akademisi, dunia lain dengan sektor yang lebih besar, termasuk Turki, tampaknya masih tidak ‘terjaga’ dengan isu Rohingya.
Ada banyak institusi-institusi dan orang-orang yang berpura-pura seakan-akan baru mendengar isu Rohingya. Namunpun demikian, seperti yang sudah saya tuliskan dalam kertas-kertas yang lain dan diskusi-diskusi dengan berbagai kalangan bahwa perkembangan yang paling awal sekali sepatutnya dicetak dengan melibatkan komunitas Muslim didunia, saat manusia-manusia perahu mendarat diperairan pelabuhan Sabang dan Idie Rayeuk pada tahun 2008 Desember dan 2009 Februari. Dan contoh pendekatan orang-orang sipil Aceh dan kegubernuran perlu dicermati secara akademis dan tehnik untuk dipersembahkan sebagai model bagi seluruh dunia.
Ketika kita menilik media dan beberap presenter-presenter non akademik, diketahui bahwa orang-orang pada umumnya hanya melekatkan diri pada isu Rohingya secara emosional, yang tentu bersifat sementara tanpa ada kontribusi-kontribusi signifikan yang bisa menyelesaikan persoalan-persoalan saudara kita tersebut.
Saya patut mengungkapkan kepedulian saya tentang apakah konferensi-konferensi semacam itu dapat menjadi solusi atau sumbangan terhadap perubahan-perubahan terhadap kerentanan orang-orang Rohingya. Tidak perlu diragukan bahwa konferensi-konferensi yang sudah dijalankan pada awalnya difungsikan untuk mewujudkan kesadaran dalam masyarakat. Melalui jalan ini, informasi tidak terbatas hanya pada kalangan elit tapi disebarluaskan pada kalangan manapun. Ditambah lagi, wacana-wacana tersebut mampu mempengaruhi secara global negara terkait dan pemerintahan untuk merubah kebijakan-kebijakan negerinya.
Singkatnya, saya ingin mendalilkan peran dan fungsi kekuasaan Barat. Jika ditinjau kembali kebijakan-kebijakan negara-negara Barat, mereka tampaknya tidak konsisten terhadap isu kemanusiaan. Karena negara-negara tersebut terus mencari keuntungan bersama dengan negara-negara terkait, misalnya Myanmar, Mereka melangkaui peristiwa-peristiwa dan nasib orang Rohingya di wilayah Arakan. Contohnya, Jendral Ne Win (1962-1990) disokong oleh kekuatan Barat meskipun sang Jendral sendiri melaksanakan kebijakan-kebijakan yang melawan ayat-ayat kemanusiaan. Persoalan dalam kebijakan Barat terdapat dalam kontradiksi atau dilema antara ambisi global mereka dengan penimbangan-penimbangan isu kemanusiaan.
Bolehkan saya membagi beberapa pandangan yang saya tonjolkan dalam konferensi tersebut secara ringkas.
–
Keinsafan: Kesadaran tentang segala aspek dari persoalan Rohingya patutnya tak terelakkan yang harus tumbuh dalam umat Muslim. Oleh karena itu kita perlu takzim terhadap kajian-kajian untuk mengindentifikasi persoalan dan menemukan penyelesaian.
Keinsafan: Kesadaran tentang segala aspek dari persoalan Rohingya patutnya tak terelakkan yang harus tumbuh dalam umat Muslim. Oleh karena itu kita perlu takzim terhadap kajian-kajian untuk mengindentifikasi persoalan dan menemukan penyelesaian.
-Pendekatan kewilayahan: Isu Rohingya tidak dapat dikategorikan sebagai isu yang terkesampingkan dari isu-isu dan persoalan-persoalan minoritas muslim lainnya di Asia Tenggara. Oleh karena itu, semua pihak baik internasional, nasional, agen-agen negara dan swasta perlu mempertimbangkan apa yang telah, sedang, dan akan mereka laksanakan dalam wilayah ini. Pengalaman-pengalaman sebelumnya –jika ada- dapat menyumbang pada upaya pemecahan dalam daerah-daerah bermasalah, khususnya dalam kasus Rohingya. Sejak permulaan July 2012, ada inisiatif-inisiatif yang telah dikembangkan oleh berbagai pihak. Meskipun begitu, tidak boleh dilupakan bahwa persoalan tersebut bisa diselesaikan secara praktis, jika bisa, dengan usaha-usaha kewilayahan, katakanlah, pendekatan ASEAN.
-Hubungan kekuatan Internasional : Isu Rohingya tidak bisa hanya dianggapsebagai konflik internal atau konflik etnik di Myanmar. Isu ini menjadi lebih emergensi hari ini karena Myanmar baru saja memasuki lapangan ‘perang keuntungan internasional’ dan wilayah Arakan telah sejak dahulu dikenal sebagai sumber bahan mentah, akses ke Samudra Hindia, dan lokasi geo-strategis antara India dan China, dan sebagainya.
-Tanggungjawab Muslim: negara-negara denganmayoritas populasi muslim harus mengambil lebih banyak langkah tidak hanya dengan etnis minoritas Rohingya di Myanmar tapi juga pengungsi-pengungsi Rohingya dan orang-orang tanpa kewarganegaraan dan status kesukuan yang tinggal di Bangladesh, Arab Saudi, Negara-Negara Teluk dan lainnya…
-Hukum kewarganegaraan dan pengakuan ethnik:Permasalahan ini sebaiknya tidak begitu dilekatkan dengan kemiskinan dan kelaparan orang-orang Rohingya. Sebaliknya, persoalan fundamental lebih terkait dengan pengakuan ethnik. Meskipun beberapa orang merujuk pada ‘Hukum Kewarganeraan 1982’ di Myanmar sebagai solusi, besar kemungkinan bahwa pemerintahan Myanmar tidak akan mematuhi untuk tidak melakukan pendekatan non diskrimasi terhadap kewarganegaraan. Solusi ril hanya akan menghubungkan dengan pengakuan Rohingya sebagai etnik Myanmar.
-Masa depan orang Rohingya: masa depan orang Rohingya tergantung pada 4 elemen fundamental sebagai berikut: a) Fisik; b) Psikologi; c) Politik; d) Kematangan ekonomi. Elemen-elemen ini patut diperhitungkan secara bertalian tanpa meninggalkan salah satunya. Upayanya perlu dengan simultan dan jangka panjang demi mewujudkan keseluruhannay secara utuh.
-De-militarisasi: Arakan (wilayah Rakhine) harus diselamatkan dari militerisasi masyarakat selain dari apa yang sudah diutarakan diatas.
-Persatuan antara kelompok Rohingya: Rekonsiliasi antara berbagai kelompk etnik Rohingya -baik yang di Myanmar maupun diaspora- merupakan hal yang menonjol yang perlu diprioritaskan. Bukan figur internasional mana saja tapi pemimpin-pemimpin Rohinya harus mulai mengambil peran dalam perjuangannya melawan pemerintahan Myanmar.
-Dalai Lama sebagai Solusi: Karena persoalan-persolan Rohingya secara keseluruhan disandangi kepada komunitas Buddha, kepemimpinan Buddha seperti Dalai Lama patut dipertimbangkan sebagai bagian dari solusi untuk mengatasi kerusuhan, prasangka, dan kebekuan komunitas buddha di Myanmar.
http://www.acehindependent.com/2012/10/24/isu-minoritas-rohingya-di-myanmar-menuju-solusi/