Mehmet Özay                                                                                                            2008
 
Berbicara tentang sejarah suatu kota artinya berbicara tentang sekelompok kehidupan, raga peradaban manusia. Berkenaan dengan hal ini Banda Aceh sebagai ibu kota dari sekumpulan kerajaan kerajaan berkembang yang terletak di ujung utara pulau Sumatra patut diambil sebagai pertimbangan.
Islam lahir di sebuah kota dan kota Islam tersebut telah menjadi simbol peradaban manusia. Di Asia tenggara, Aceh sebagai salah satu bagian pusat peradaban Islam dapat di figurkan sebagai sebuah contoh signifikan di periode pertengahan. Meskipun sejarah Aceh dimulai sebelum kedatangan Islam, kemakmuran utama dapat dilihat melalui perkembangan Islam di wilayah ini. Oleh karena itu, Islam sangat erat kaitannya dengan keberadaan Aceh, terutama Banda Aceh.
Banda Aceh berasal dari kata ‘bandar’ yang artinya ‘pelabuhan’ dan ‘aceh’ berarti ‘aca’ dalam bahasa India bermakna ‘cantik’.[1]Kota Banda Aceh telah menjadi pelabuhan-pelabuhan penting dalam sejarah yang pernah ada disekitar Selat Malaka. Informasi pertama berasal dari sumber utama dalam sejarah peradaban dinasti Cina.
Sebelum berbicara lebih jauh tentang Banda Aceh,  terlebih dahulu kita patut mengenal wilayah Aceh. Informasi pertama berasal dari sejarah Dinasti Liang sekitar 500 M. Dalam sumber tersebut, Aceh disebut sebagai Poli yang saat itu memiliki 148 desa. Dan masyarakat yang hidup saat itu menganut kepercayaan Budha. Akan tetapi kemudian Islam masuk kewilayah tersebut sekitar tahun 846-950.[2]
Wilayah Aceh telah lama dikenal sebagai tempat terkemuka yang memproduksi hasil bumi seperti emas, perak, dan sutra sejak masa Dinasti Sung (960-1279) di Cina. Disisi lain, masyarakat Aceh mengakui bahwa ahlı artileri yang ikut memberikan kontribusi akan proses pengolahan hasil bumi tersebut juga memiliki posisi tinggi.[3]
Sebagai sebuah kota yang terletak di bagian utara Pulau Sumatra dan dikelilingi oleh bagian selatan Selat Malaka, Banda Aceh telah berkembang pesat menjadi sebuah pusat perdagangan sehingga dapat menarik perhatian banyak pedagang Eropa, Asia, dan Timur Tengah. Banda Aceh juga pernah memiliki bisnis perdagangan dengan kota-kota sekitar Selat Malaka dan negara-negara sekitar Samudra Hindia. Lebih jauh lagi  Banda Aceh menjadi bagian antrepo dalam hubungannya dengan perdagangan antara timur dan barat.[4]
Banda Aceh tidak hanya menjadi pusat kegiatan bisnis dan area istana tapi juga menjadi model untuk semua gaya dan perlengkapan tradisi.[5]Disamping Masjid yang besar dan pusat pemasaran yang berada di bagian sentral desa-desa, ibu kota Banda Aceh memiliki desa-desa yang  berkembang dan makmur, khususnya dari arah utara-barat. Meura’sa adalah salah satu contohnya, beralokasi antara pelabuhan Ulee Lhee dan istana kesultanan. Bagian desa tersebut juga dinamai ‘Banda Aceh’.
Selain sebagai tempat bermukimnya istana, ­kota Banda Aceh juga terbagi pada beberapa kacamatan. Kacamatan tersebut dinamai nanggroe, mukim, daerah Bibeuh dll. Bibeuh yang melingkupi kawasan Merduati, Gampung Jawa, Kedah, Gampung Pande, Pantee Pirak dan Neusu berada langsung di bawah tanggung jawab sultan. Wilayah Bibeuh merupaka tempat yang sangat penting karena Bibeuh mengitari istana sebagai jaringan keamanan. Pekerja istana, tentara, orang asing dan beberapa artisan mendiami wilayah Bibeuh.[6]
Pembentukan Kota

Sejak periode Islam, pembentukan kota Banda Aceh diketahui terjadi pada tanggal 1 Ramadhan 601 H atau 1205 M. Sekelompok petarung tiba dari Peureulak menuju Indrapurba, Aceh Besar yang dipimpin oleh Abdullah
Kan’an. Setelah berhasil mengislamkan Raja Hindu dan rakyatnya, Kan’an menunjuk Meurah Johansyah sebagai Sultan Pertama atas daerah tersebut yang diberi nama Banda Darussalam.[7] Johan Syah menyatakan untuk menggantikan Lamuri dengan sebuah kota baru yang berlokasi di Kuala Naga antara Gampong Pande dan Blang Peureulak, berdekatan dengan Krueng Aceh.[8]Meskipun demikian, pembentukan ibukota baru dapat terealisasikan pada era pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah, cucu dari Johan Syah, (665-708 H/1267-1309 M). Sultan Johan Syah juga memerintahkan pembangunan tempat peristirahatan yang kemudian disebut dengan nama Glee Weueng yang terletak diatas bukit Dataran Tinggi Maimprai, berdekatan dengan daerah Sibreh. Disinilah Sultan Johan, anaknya dan cucunya disemayamkan.[9]
            Perubahan kota baru dapat diselesaikan setelah Sultan Alaiddin Mahmud Syah memerintahkan untuk membangun Darud Dunia dan mesjid Baiturrahman. Nama Banda Aceh mulai dipakai setelah kesultanan Darussalam bersekutu dengan Kesultanan Pidie dan Jaya selama masa Husein Syah (870-885 H / 1465-1480).[10]
Pada Abad ke-16 dan ke-17
 
Sebelum Portugis datang pada tahun 1509, Aceh berbatasan dengan Kuta Raja- sebuah pelabuhan kecil dan merupakan area feodal wilayah pase yang belum diketahui. Kebijakan perdagangan Portugis di seluruh wilayah Malaka membuka keberuntungan bagi Aceh karena setelah kedatangan Portegis para pedagang memilih melakukan kegiatan dagang mereka di pelabuhan Aceh, refleksi usaha penggabungan ekonomi dan harapan untuk merdeka dari kekuasaan non muslim. Alasan inilah yang menyebabkan Sultan Alaiddin Riayat Syah mampu mengatur pembentukan wilayah baru.[11]

 

Sebelum memulai penjajahan di Asia Tenggara pada permulaan abad ke-16, Portugis telah mengetahui terlebih dahulu kehidupan perdagangan Aceh yang kaya dan kosmopolit. Selain Portugis, penjajah lainnya seperti Belanda, Inggris, Prancis, dan Denmark juga mengambil langkah yang sama sebagaimana yang dijalani oleh Portugis.[12]
Sejak abad ke-16 dan ke-17 kota Banda Aceh menjadi saksi kejayaan Aceh yang dinilai sebagai pesaing kuat bagi kota-kota penting Eropa. Pada masa tersebut Aceh memiliki populasi kira-kira antara 50.000 hingga 100.000.[13] (Catatan: Jumlah populasi tersebut adalah sama dengan jumlah penduduk pada tahun 1978). Setelah ditaklukkan, pengaruh penting Samudra Pasai di Banda Aceh terus berlanjut. Akan tetapi takdir kota Banda Aceh mulai berubah dan menjadi pusat perdagangan bagi dunia sekitar tahun 1539.[14]
Berdasarkan peta kota yang digambar pada abad ke-16, terdapat 4 kemukiman utama yang namanya disahkan setelah masyarakat minoritas tinggal, yaitu: Kampung Benggala, Pegu, Pedagang dan Pedayung. Orang-orang Benggali tinggal di Kampung Benggala, Orang Burma tinggal di kampung Pegu, berbagai etnis menetap di kampung Pedagang, dan kelompok minoritas dari Samudra Hindia menetap di Pedayung.[15]
Seiring dengan berjalannya waktu, Banda Aceh mewujudkan pergolakan tak hanya dalam konteks ekonomi dan politik tapi juga dalam agama dan budaya. Sebagai sebuah kota metropolitan, Banda Aceh merupakan kota yang atraktif baik bagi para pedagang ataupun Pejabat, dan sering kali menjadi topik pembicaraan dalam berbagai tulisan.

 

Seorang Jenderal Prancis Beualieu yang pernah tinggal beberapa lama di Banda Aceh mempertegas deskripsi tentang sisi perkembangan dan karakteristik kosmopolitan kota. Beualieu, dalam konteks ini menekankan keberadaan aristrokrasi (orang kaya) dan rumah istana mereka dengan kemegahan meriam didepannya, dibentengi para penjaga dan dilayani para budak. Ini menjadi bukti yang memperlihatkan kekuatan kelompok tersebut di kota. Beualieu juga mengatakan bahwa suasana kota sangat ramai sehingga menyulitkan untuk hanya berjalan-jalan disekitar pusat kota, dan suasana kota tersebut tidak mungkin bisa ditemukan di kota-kota lain di pulau Hindia.[16]
Pengunjung lainnya, John Davis, yang menemani Cournelis De Haoutman pada tahun 1599, memberitahukan bahwa ada bebera
pa kapal dagang yang datang dari Arab dan Pegu mendarat di Aceh. Sir James Lancester, yang mengunjungi Aceh pada tahun 1602, juga mengekspresikan pengamatannya bahwa ada sekitar 16 dan 18 kapal dagang negara asing yang mendarat di pelabuhan kota Aceh.[17]
Tampaknya pergerakan sufi panteis sangat berpengaruh di Aceh pada abad ke-16 dan 17. Pergerakan tersebut yang merefleksikan ‘cermin’ dan ‘iluminasi’ secara simbol sebagai ‘tuhan’ dan ‘sufi’ telah mempengaruhi konstruksi taman dan istana di Banda Aceh.[18]
Pertengahan pertama abad ke-17, Banda Aceh mengalami peningkatan yang signifikan, buah dari hasil kebijaksanaan dagang Sultan Iskandar Muda, yang membatasi kebijakan-kebijakan bisnis dagang di kota Banda Aceh. Bagaimanapun, kelihatannya kota tersebut tidak mampu menyediakan bahan sandang pangan yang dibutuhkan meskipun para tawanan perang dikerahkan untuk bekerja di persawahan, tetap saja tidak terlihat perubahan yang berarti. Dalam situasi seperti ini, administrasi kota menuntut persediaan makanan dari bagian utara yang memiliki kondisi persawahan yang subur.[19]
Selama masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, bisnis perdagangan di Aceh menjadi pusat perhatian seluruh dunia.[20]Berbagai bangsa menetap dan mengembangkan kediaman pribadi mereka di kota tersebut. Diantaranya terdapat sekumpulan pedagang-pedagang penting dari Cina. Mereka menetap di bagian utara menghadap laut. Koloni-koloni lain yang berada di wilayah ini adalah sekumpulan pedagang penting yang berasal dari Istanbul, Venice, Arab, Iran, Gujarat, Dabul, Malabar, Kromandel, Bengal, Arakan, dan Pegu, disamping pedagang-pedagang lainnya yang berasal dari bagian timur seperti Jawa, Siam, Makassar, Kalimantan, dan Sumatra.[21]
Pada periode ini, Iskandar Muda tampaknya telah menjadi seorang pelindung setia arsitektur keagamaan contohnya masjid, madrasa dll. Berdasarkan fakta tersebut, ia diterima sebagai model penguasa Islam klasik di Asia Tenggara seperti penguasa lainnya di Timur Tengah.[22]
Iskandar Muda, menciptakan perubahan tidak hanya dalam persoalanan dagang tetapi juga perkembangan di dalam kota. Contohnya, ia mengembangkan sebuah sungai yang dikenal dengan sebutan Dar al ’Isyki’. Darul Isyki kemudian populer dengan panggilan Kruneg Daroy yang mengelilingi istana[23]dan membangun komplek pendidikan dilingkaran Masjid Baiturrahman. Komplek ini setara dengan kualitas universitas modern. Beberapa fasilitas lainnya di dalam dan sekitar kota, serta peningkatan populasi peduduk telah mawujudkan Banda Aceh sebagai kota metropolitan di Asia tenggara.[24] Sejak Aceh menjadi sebuah pelabuhan internasional, ada beberapa bahasa yang digunakan dalam interaksi antar bangsa, khususnya permulaan abad ke-17, bahasa Arab dan Portugis, disamping bahasa Melayu, baik secara lokal maupun internasional.[25]
Walaupun beberapa permasalahan mulai terjadi pada masa kesultanan Ratu Safiatuddin, kota Banda Aceh tetap berkembang. Pada masa ini, para penghuni kota tidak memiliki kesulitan pangan apapun dan mereka secara ekonomi dapat dikatakan sangat sejahtera.[26] Ibukota menjadi sebuah pusat dalam penyelesaian segala permasalah sosial berpegang pada ketentuan-ketentuan hukum yang dibentuk Iskandar Muda.
Bagaimanapun kota Banda Aceh merupakan, salah satu pelabuhan utama pada abad ke-17 dimana kapal-kapal kargo berkunjung dari berbagai negara penting saat itu merupakan ibukota terkaya dan terkuat di Nusantara. Lebih jauh lagi, Banda Aceh adalah satu-satunya pelabuhan yang tak mampu ditaklukkan oleh Belanda meskipun mereka telah menguasai pelabuhan pelabuhan penting lainnya di Aceh.[27]
Banda Aceh Pada Abad ke-18
 
 Kota Banda Aceh mencapai puncak kestabilan sosial politik untuk tahun tahun pertama abad ke-18 selama pemerintahan Badrul Munir (1703-1726). Salah satu bukti perkembangan kota saat itu dapat dilihat dari tata konstruksi rumah. Baik pedagang  lokal ataupun asing tinggal di rumah yang dibangun dari bricks dan batu. [28]
            Ibukota tersebut dibagi ke dalam 3 wilayah administrasi utama yang dikenal dengan sebutan Sagi atau sago. Wilayah-wilayah tersebut diberi nama setelah Indrapuri, Indrapatra, dan Indrapurwa dialokasikan di bagian utara, barat dan selatan dari ibukota. Salah satu konstruksi sosial dari sagi-sagi tersebut adalah mesjid. Akan tetapi hari ini, hanya ada satu mesjid yang masih dapat disaksikan di Indrapuri. Snouck Hurgronje menyebutkan tentang keberadaan puing-puing mesjid lainnya pada permulaan abad ke-20. namun hari ini tak ada yang tersisa.[29]
Warisan yang Hilang
 
Kota Banda Aceh menjadi saksi akan kebakaran yang dahsyat yang terjadi pada abad ke-17, setelah satu tahun koronasi ratu kedua Nur Alam. Kebakaran ini menyebabkan istana kesultanan dikenal dengan sebutan Darud Dunia. Mesjid Baiturrahman dan perpustakaannya hancur tak tersisa. Kejadian tersebut tidak bisa dikatakan sebagai kebakaran biasa. Akan tetapi merupakan pengaruh atmosfir politik pada masa tersebut. Sebagaimana yang diketahui, saat itu ada beberapa kelompok politik dan ulama yang menolak kepemimpinan perempuan. Ada kemungkinan bahwa kelompok-kelompok inilah yang membakar bangunan-bangunan tersebut. Disamping hasil politik, seperti contohnya istana pemerintahan Ratu Nur Alam, yang paling penting adalah keruntuhan pustaka. Karena Perpustakaan yang terletak di wilayah kompleks Baiturrahman tersebut memiliki sumber-sumber otentik terlengkap yang mungkin dapat memberikan cahaya bagi sejarah Aceh.[30]
Sejak seluruh istana hancur, besar kemungkinan bahwa dokumen terpenting seperti kontrak internasional, barang-barang berharga telah lenyap. Dikarenakan hal ini, kebakaran tersebut dipercaya telah menyebabkan beberapa kelompok tidak bisa Mencapai sebuah konsensus tentang beberapa topik dan pendekatan kontroversial tentang kontrak internasional (MoU), perang dan keputusan politik para sultan. Disamping itu, pembakaran perpustakaan menyebabkan hilangnya berbagai sumber sejarah penting yang ditulis oleh berbagai ulama Aceh.
Banda Aceh pada Abad ke-19
            Setiap kali kita berbicara tentang Aceh pada abad ke-19 yang paling jelas melintas dalam benak adalah penjajahan Belanda. Invasi Belanda meninggalkan berbagai pengaruh terhadap kota Banda Aceh. Salah satunya adalah menkonstruksi mulai dari komplek Keraton, Neusu hingga Taman Pahlawan, Kampung Ateuk.[31]
            Hampir satu abad, Aceh berada dibawah tekanan Belanda, terhitung sejak tahun 1873 hingga tahun 1903. Ketika Belanda  menyadari adanya ancaman akan merosotnya reputasi, mereka mencoba untuk melenyapkan setiap aspek dari identitas local. Contohnya, menghancurkan memori sosial bangsa Aceh dengan merobohkan Istana yang dinamai Dalam[32], menggantinya dengan Keraton, membangun barak militer disekitar lingkungan istana. Oleh karena itu, hanya sedikit sisa-sisa kegemilangan kota yang tertinggal, seperti Kandang XII and Gunongan.[33]
Dalam atau pemukiman sultan yang dinamai ­Kuta Radja setelahnya yang difungsikan untuk seluruh ibu kota.[34] Nama kota mengalami perubahan dari Banda Aceh Darussalam menjadi Kuta Raja. Termasuk didalamnya Istana yang biasa disebut Dalam. Gampong Jawa dan Peunayong merupakan pusat bisnis dan perdagangan kota.[35]
Meskipun sejarahnya kembali ke masa-masa paling awal. Saat ini kita tak bisa menyaksikan latar belakang sejarah kecuali melalui artifak-artifak monument, seperti Gunongan dan mesjid Baiturrahman. Disamping Monumen umum, Makam para sultan Darul Kamal di Biluy, Kota Alam, dan Ali Mughayat Syah, pendiri Kesultanan Aceh Darussalam di Makam Kandang XII yang terletak berdekatan dengan Pendopo Gubernur.[36]
Banda Aceh dan Jalur Laut
 
Aspek penting dari kota Banda Aceh lainnya adalah Pelabuhannya. Pelabuhan tersebut memiliki perlindungan alami, yaitu laut yang menyulitkan pihak-pihak tertentu untuk menembus perlindungan ini. Sebagaimana yang tertulis dalam teks-teks sejarah, pada abad ke-16 dan ke-17 Pelabuhan kota Banda Aceh memiliki tiga gerbang masuk. Gerbang tersebut membimbing pada arah yang berbeda. Gerbang pertama disebut  ‘Surat’ dan mengarahkan pada arah Gujarat. Gerbang yang kedua disebut dengan Terusan Benggali yang tembusannya menuju ke India Timur. Dan yang ketiga adalah jalan menuju Selat Malaka. Jalur laut adalah jalan yang sulit untuk mencapai pelabuhan. Jalur laut tersebut memberikan alasan fakta sejarah mengapa tidak ditemukannya satu bentengpun yang dibangun disekitar istana dan ibukota sebagai perlindungan. Artinya, benteng laut yang alami dan kuat selalu melindungi tempat-tempat penting tersebut. Jika kita mengutip kesaksian Panglima Laut Perancis Beaulie (1620-30) kita dapat mengambil kesimpulan betapa pentingnya jalur laut bagi wilayah ibukota. Didalam bukunya ia berkomentar,  jarak untuk memasuki pelabuhan dari arah laut membutuhkan waktu 8 hari. Ketika kapal berhenti di pelabuhan, masih ada sekitar 4 mile lagi yang harus ditempuh untuk sampai ke pusat kota. Dan untuk menggapainya, para pendatang tersebut harus memakai jalur sungai.[37]

[1]Kamal A. Arif, Ragam Citra Kota Banda Aceh -Interpretasi Terhadap Sejarah, Memori Kolektif dan Arketipe Arsitekturnya-, PhD Dissertation, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2006, hal. 4.
[2]Edwin M. Loeb, Sumatra -Its History and People-, Vol. I, Verlag Des Institutes Für Völkenkunde Der Universitat Wien, Wien, Austria, 1935, hal. 218.
[3]W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia&Malaya -Compiled From Chinese Sources-, C. V. Bhratara, Jakarta, 1960, hal. 93.
[4]M. İsa Süleyman, “Banda Aceh in the International Commerce Siclus As an Historical View”, Sinar Darussalam, No. 170/171 Mei s/d Juli 1988, Banda Aceh, hal. 320.
[5]G. W. J. Drewes ve P. Voorhoeve, Adat Atjeh, Reproduced in facsimile from a manuscript in the India Office Library, S. Gravenhage-Martinus Nijhoff, 1958, hal. 9.
[6]Mahmunar Rasyid, Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah Pemimpin Kerajaan Aceh Abad Ke-17 (1641-1675), CV., Tarity Samudre Berlian, 2001, s. 58-9, 60.
[7]Army, “Dari Celah-Celah Seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh”, Sınar Darussalam, No. 170/171, Mei/Juli 1988, Banda Aceh, hal. 374; Raden Hoesein Djajadiningrat, Kesultanan Aceh, Alih Bahasa: Teuku Hamid, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Banda Aceh, 1984, hal. 9.
[8]Ali Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Aceh, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 26.
[9]Ali Hasjmy, SınarDarussalam, 170/171, Mei/Juli, 1988, Banda Aceh, hal. 275; Ali Hasjmy, “Banda Aceh Darussalam Pusat Kegiatan Ilmu Dan Kebudayaan”, East Aceh, 25-30 September 1980, hal. 2-6.
[10]Ali Hasymy, “Banda Aceh Darussalam Pusat Kegiatan Ilmu Dan Kebudayaan”, hal. 3.
[11]Ibrahim Alfian, “Islam dan Kerejaan Aceh Darussalam”, in Taufik Abdullah, Sejarah Dan Dialog Peradaban, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI Press, Jakarta, 2006, hal. 247; Edwin M. Loeb, Sumatra -Its History and People-, Vol. I, Verlag Des Institutes Für Völkenkunde Der Universitat Wien, Wien, Austria, 1935, hal. 218.
[12]D. J. M. Tate, The Making of Modern South-East Asia, Vol 1., Oxford University Press, Revised Edition, Kuala Lumpur, 1977, hal.5
[13]Barbara Leigh, Tangan-Tangan Trampil -Seni Kerajinan Aceh (Hands of Time -The Crafts of Aceh)-, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1989, hal. 7.
[14]E. Edwards McKinnon, “Indian and Indonesian El
ements in Early North Sumatra”, (Ed.), Anthony Reid, Verandah Of Violence -The Background to the Aceh Problem-, Singapore UniversityPress, 2006, hal. 33.
[15]E. Edwards McKinnon, “Indian and Indonesian Elements in Early North Sumatra”, hal. 32.
[16]Anthony Reid, An Indonesian Frontier -Acehnese and Other Histories of Sumatra-, SingaporeUniversity Press, Singapore, 2005, hal. 100.
[17]M. İsa Süleyman, “Banda Aceh in the International Commerce Siclus As an Historical View”, hal. 322.
[18] Barbara Leigh, Tangan-Tangan Trampil -Seni Kerajinan Aceh (Hands of Time -The Crafts of Aceh)-, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1989, s. 5.
[19]Eric Eugene Morris, Islam and Politics in Aceh -Study of Center-Periphery Relations in Indonesia, Cornell University, Michigan, 1983, hal. 22.
[20]Ahmed Daudy, Syeikh Nuruddin Ar-Raniry -Sejarah Hidup, Karya dan Pemikiran-, Diterbitkan Oleh Pusat Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI), IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 2006, hal. 20.
[21]Hasan Muarif Ambary, “Banda Aceh Sebagai Pusat Kebudayaan dan Tamaddun”, Sınar Darussalam, No. 170/171 Mei/Juli 1988, Banda Aceh, hal. 292.
[22]Robert Hillenbrand, Islamic Art and Architecture, Thams and Hudson Ltd., London, 1999, s. 116.
[23]Kamal A. Arif, Ragam Citra Kota Banda Aceh -Interpretasi Terhadap Sejarah, Memori Kolektif dan Arketipe Arsitekturnya-, hal. 8; Anthony Reid, “ Contests and Festival in Seventeenth Century Aceh”, Bunga Rampai Temu Budaya Nusantara PKA-3, Banda Aceh, 1989, hal. 32. (Catatan: Krueng Daroy adalah sungai yang terletak di dalam sebuah taman bernama “Putroi Phang”. Krueng Daroy juga disebut “Darul Isyiqy” (Lihat: “Riwayat Singkat Mesjid Raya Baiturrahman”, Sınar Darussalam, No. 155 Sept/Oktober 1986, Banda Ace, hal. 477.); Anthony Reid, “Contests and Festival in Seventeenth Century Aceh”, Bunga Rampai Temu Budaya Nusantara PKA-3, Banda Aceh, 1989, hal. 32.
[24]Teuku Iskandar, Hikayat Aceh, Tr Abu Bakar, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Museum Negeri Aceh, 1986, hal. 50.
[25]Rodolphe De Koninck, Aceh In The Time of Iskandar Muda, Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh, Banda Aceh, 1977, hal. 29.
[26]Luthfi Auni, The Decline of the Islamic Empire in Aceh (1641-1699), Institute of Islamic Studies McGill University, Montreal, 1993, hal. 64-5.
[27]Anthony Reid, Witnesses to Sumatra -A Travellers’ Anthology-, Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1995, hal. 54.
[28]Lee Kam Hing, The Sultanate Of Aceh -Relation with the British 1760-1824, South East Asian Historical Monograph, Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1995, hal. 18.
[29]E. Edwards McKinnon, “Beyond Serandib: A Note on Lambri At The Northern Tip of Aceh”, The Indian Ocean And the South China Sea, Indonesia, Vol. 46 (October 1988), hal. 115.
[30]Luthfi Auni, The Decline of the Islamic Empire in Aceh (1641-1699), Institute of Islamic Studies McGill University, Montreal, 1993, hal. 84; Muhammad Said, “Aceh -Sepanjang Abad-, Vol. I, PT Percetakan dan Penerbitan Waspada Medan, 1990, hal. 403.
[31]Kamal A. Arif, Ragam Citra Kota Banda Aceh -Interpretasi Terhadap Sejarah, Memori Kolektif dan Arketipe Arsitekturnya-, hal. 8.
[32]Lee Kam Hing, The Sultanate Of Aceh -Relation with the British 1760-1824, South East Asian Historical Monograph, Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1995, hal. 8.
[33]Hasan Muarif Ambary, ibid., hal. 291; Rodolphe De Koninck, Aceh In The Time of Iskandar Muda, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, Banda Aceh, 1977, hal. 30.
[34]G. W. J. Drewes ve P. Voorhoeve, Adat Atjeh, Reproduced in facsimile from a manuscript in the India Office Library, S. Gravenhage-Martinus Nijhoff, 1958, hal. 9.
[35]Lee Kam Hing, The Sultanate Of Aceh -Relation with the British 1760-1824, hal. 8.
[36]Hasan Muarif Ambary, “Banda Aceh Sebagai Pusat Kebudayaan dan Tamaddun”, hal. 291.
[37]Rodolphe De Koninck, Aceh In The Time of Iskandar Muda, hal. 30.

LEAVE A REPLY