Mehmet Özay 16.06.2013
ACEH adalah wilayah dengan populasi rendah jika dibandingkan dengan ukuran geografinya. Sehubungan dengan ini, kegiatan-kegiatan pertaniannya, terutama pembudayaan beras, mencakupi area yang luas. Oleh karenanya, Aceh diakui sebagai salah satu provinsi penanaman beras paling produktif di Indonesia. Areanya terbentang dari sekitaran Banda Aceh hingga Aceh timur termasuk dari wilayah pesisiran hingga kecamatan di pedalaman.
Bahkan menurut beberapa kalangan, Aceh dapat diperkirakan sebagai mangkuk nasi Indonesia. BULOG membeli beras dengan jumlah signifikan dari Aceh. Sebagai tambahan, pihak perantara mengumpulkan produk beras dan mengirimnya ke Medan untuk diolah lebih jauh sebelum kemudian dijual dengan harga lebih tinggi. Walaupun begitu, harus diperhatikan bahwa sektor beras pada awalnya tidak dikelola oleh produsen-produsen besar, sebaliknya dikomando oleh produsen-produsen kecil dan menengah seperti pabrik bisnis keluarga yang dipupuk dengan usaha sendiri.
Sebab itulah ‘perantara’ dapat memperoleh laba lebih banyak dari bisnis mereka daripada produsen semula, sekaligus menjadi pembuat kebijakan dan dominan dalam bisnis semacam ini, misalnya dalam memutuskan harga pasokan beras dan lain lain. Poin penting selanjutnya adalah berkaitan dengan pihak produsen awal, artinya, mereka tidak memiliki hak yang layak untuk menjual produk-produk mereka dengan harga yang menguntungkan. Satu aspek negatif lainnya dari bisnis ini adalah proses produksi beras lebih sering berjalan tanpa sistem irigasi yang terkendali.
Sebagaimana yang tersebut dalam data-data yang telah diterbitkan, hampir 80% lapangan pertanian hanya diairi oleh kondisi iklim normal, dan hanya 20% lainnya yang dialiri dengan sungai-sungai layak berbasis sistem irigasi. Ketika Aceh memiliki potensial dalam segi produk-produk pertanian khususnya beras, dunia secara berangsur mengenyampingkan perbincangan-perbincangan mengenai ‘krisis pertanian’ yang tampaknya akan segera muncul sekurang kurangnya dalam beberapa wilayah penting di dunia. Dan tanpa diragukan, wilayah-wilayah dengan keamanan secara pertanian akan dapat bertahan dengan kuat.
Sekaranglah saatnya untuk bertanya apakah kalangan-kalangan terkait seperti Dinas pertanian, produsen, akademia memiliki pikiran-pikiran berkenaan dengan issu signifikan ini. Apakah pembuat kebijakan pemerintah Aceh memikirkan tentang potensial lahan dengan fokus meningkatkan kultivasi lapangan beras? Satu contoh saja sudah cukup untuk meyakinkan apa yang saya maksud dengan pertanyaan ini. Malaysia mengelola hanya sekitar 75% beras dan selebihnya harus dibeli dari negara-negara tetangga seperti Thailand. Sedangkan Negara Teluk, atau negara-negara perbatasan Samudra Hindia tidak memiliki lahan layak apapun untuk mengkultivasi seperti beras, gandum, dan lain sebagainya.
Oleh karenanya mereka perlu membeli dari negara lain. Aceh, dalam hal ini, berada begitu dekat dengan Malaysia dan hanya beberapa hari jarak dari negara teluk tersebut yang telah diamati memiliki koneksi sejarah dengan dunia Melayu, termasuk Aceh. Apa yang coba saya sampaikan secara implisit di atas adalah tanpa diragukan berhubungan dengan mekanisme pertanian berbasis modern. Meskipun begitu, Saya ingin mengucapkan satu aspek membahayakan dari proses tersebut.
Sebagaimana yang telah ditinjau hampir di setiap proses modernisasi di Negara-negara Dunia Ke-tiga, proses mekanisme semacam ini menggantikan pekerjaan-pekerjaan manual petani-petani dan meninggalkan mereka terasing di tengah-tengah kampung halamannya. Dan kondisi semacam ini memaksa produsen-produsen kalangan bawah untuk berpindah ke kota-kota besar dan membangun rumah-rumah berjeratan sambil kehilangan tradisinya dan lebih terdiskriminasi mengingat budaya kota yang jauh berbeda.
Ini bukan sekedar perubahan sederhana bagi kehidupan orang-orang kampung. Sebaliknya ini akan berdampak besar pada kehidupan kota, administrasi dan kemasyarakatan juga. Keberadaan pendatang bagi pemukiman kota mendorong pihak kotamadya atau administrasi kota untuk mendapatkan dana yang lebih besar untuk menyediakan tuntutan terhadap infrastruktur. Namun tanpa pemasukan yang memadai dari anggaran pemerintah, pihak administrasi kota juga akan memiliki masalah dengan bayi-bayi baru lahir. Keberadaan populasi perkampungan di kota-kota akan menambah persoalan benda dan bukan benda yang sudah ada.
< br />
Maka, harus ada usaha pemecahan terhadap persoalan-persoalan yang akan segera menggeroti di masa yang akan datang oleh setiap kalangan terkait termasuk administrasi, akademisi, sektor swasta, dan lain sebagainya. Mereka harus menemukan solusi praktis yang akan memudahkan kehidupan orang-orang kampung tanpa merampas kehidupan mereka di tanah kelahiran atau menjadikan mereka terlunta-lunta di sekitaran kota sebagai orang-orang tanpa akar. Ketika saya berbicara tentang akademisi, saya ingat saat mengkuliahi anak-anak Fakultas Pertanian Unsyiah beberapa tahun yang lalu. Kuliah tersebut berada dalam deretan subjek pengetahun sosial seperti teori sosial yang saya lakukan secara sukarela berdasarkan dukungan dari Prof. Darni Daud dan pertolongan anggota-anggota fakultas.
Meskipun topik tersebut adalah teori sosial pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kenyataan-kenyataan sosial. Sebagaimana diketahui, teori dikembangkan berdasarkan realitas kehidupan sehari-hari. Sepanjang minggu, kita fokus pada pemahaman akan komponen-komponen perubahan sosial karena itu merupakan mesin kemasyarakatan dan mendiskusikan beberapa contoh dari berbagai kelompok masyarakat melalui sikap partisipasi dengan murid-murid dari kelas. Saya ingin menonjolkan fakta pencapaian beberapa murid yang saat ini mungkin telah selesai dan pulang ke kampung halamannya masing masing. Mereka sebagai sumberdaya manusia tidak boleh diabaikan demi proses mekanisasi tersebut di atas dan perubahan sosial di Aceh baru. Barangkali mereka telah mulai berkontribusi baik dalam skala besar atau kecil untuk masyarakat sekitar berdasarkan qualifikasi akademik mereka.
Tapi barangkali juga ada keprihatinan tentang bagaimana mereka dapat memaksimumkan kontribusi mereka, dengan begitu mereka baru dapat menuntun masyarakat di sekeliling. Di sini, saya ingat seorang murid saya bernama Mahlil dari Bireuen yang memiliki inisiatif dan memulai enterpreneurship di kampung halamannya. Saya yakin ada banyak Mahlil-mahlil lainnya yang telah menelusuri pilihan yang sama. Sebelum berangkat pada penghujung artikel ini, saya juga ingin menyorot satu sektor lainnya yang dapat membantu menanggapi perubahan tersebut. Bukan rahasia lagi ketika seseorang mendengar ‘Aceh’, persepsi orang-orang secara global adalah penegakan syariat Islam.
Yah, untuk batas tertentu, itu benar.Tapi persoalannya adalah dalam ruang lingkup bagaimana syariat Islam di Aceh dilaksanakan terhadap masyarakat Aceh. Sehubungan dengan isu yang sedang kita bincangkan, beberapa pihak berpendapat bahwa syariat tidak memberikan solusi dan tidak bersikap kontributif. Itu benar. Jadi, Apakah dengan begitu kita tidak bisa memikirkan cara-cara yang membuat shariah kontributif? Karena kita sedang berbicara tentang perubahan sosial termasuk pada kehidupan keluarga, sikap, moral, dan lain sebagainya, para ahli hukum syariat perlu diundang untuk merenungkan permasalahan ini.
Ketika Aceh mungkin akan segera menghadapi pencapaian tinggi dari proses produksi pertanian, pihak-pihak terkait perlu menyibukkan diri untuk menemukan pemecahan-pemecahan dan memberikan arahan yang benar bagi perubahan sosial. Tanpa diragukan ini menjadi sebuah aspek unik masyarakat Aceh dalam menangani persoalan-persoalannya dan tentu akan menjadi model bagi masyarakat-masyarakat dari wilayah sekitar dengan persoalan yang sama atau di dunia secara global.
http://atjehpost.com/saleum_read/2013/06/16/55810/77/3/Aceh-mangkuk-nasi-Indonesia